- MUHAMMAD ARIEF BUDIMAN (AHLI GENETIKA DARI SLEMAN)
Walau penting, genetika terbilang ilmu yang kurang populer dan sedikit
ahlinya. Tapi Indonesia perlu bangga. Dari yang sedikit itu, ada Joe Hin
Tjio, ahli genetika kelahiran Jawa yang malang-melintang di Eropa dan
Amerika. Pada akhir 1955, dia mencatat tinta emas dalam sejarah
genetika. Dia menemukan bahwa kromosom manusia berjumlah 46 buah, bukan
48 seperti keyakinan ahli genetika manusia di masa itu.
Tjio bisa menghitung kromosom itu dengan tepat setelah ia menyempurnakan teknik pemisahan kromosom manusia pada preparat gelas yang dikembangkan Dr. T.C. Hsu di Texas University, Amerika Serikat.
Walau ahli genetika ternama itu telah wafat pada 2001, Indonesia masih terpandang di bidang keilmuan itu lewat pria kelahiran Sleman, Yogyakarta, bernama Muhammad Arief Budiman. Dia adalah Kepala Library Technologies Group Orion Genomic di Saint Louis, Missouri, Amerika Serikat.
Meski terpandang dan menempati posisi penting di perusahaannya, Arief tak pernah berhenti berkiprah. Dia merupakan anggota aktif American Society for Plant Biologists. Asosiasi peneliti ini bukan perkumpulan ilmuwan biasa. Agar seseorang bisa menjadi anggotanya, ia harus aktif meneliti penyakit kanker pada manusia. Ia juga harus membawa surat rekomendasi dari profesor yang lebih dulu aktif dalam riset itu, serta tahu persis riset dan kontribusi orang itu di bidang kanker. "Meski latar belakang saya peneliti genome tanaman, saya banyak melakukan riset genetika mengenai kanker manusia," kata Arief.
Pria kelahiran 28 September 1970 itu awalnya bercita-cita menjadi pilot. Karena berkacamata, saat SMP ingin jadi dokter. Selama di Orion Genetics, dia sudah membuat delapan teknologi untuk menangani sel kanker manusia.
Temuan pertamanya yang sudah dipatenkan adalah alat untuk menemukan biomarka atau penanda molekuler pada penyakit kanker. "Untuk menciptakan cip pengendus kanker itu, kami mengembangkan metodenya sejak lima tahun lalu," kata doktor dari Texas A&M University ini.
Begitu juga dengan tujuh temuan lainnya yang masih berhubungan dengan teknologi pemindai kanker. Masing-masing pemindai gen itu untuk kanker payudara, kanker ovarian, kanker hati, kanker kolon, kanker paru-paru, kanker melanoma, kanker kandung kemih, kanker ginjal, dan kanker endometrium.
Sebelumnya, Arief mengembangkan teknologi untuk mengaplikasikan gugus metil pada pembacaan gen tanaman. "Jadi tidak perlu lagi membaca semua sekuen genome dalam tanaman yang butuh waktu lama dan biaya besar dengan BAC-nya," katanya.
BAC atau bacterial artificial chromosome ini menjadi bahan disertasinya di Texas A&M University dan merupakan tonggak awalnya berkiprah dalam bidang genetika di Amerika.
Sukses di Negara Adidaya tak membuatnya lupa Tanah Air. Arief mengatakan suatu saat akan kembali ke Indonesia. "Saat ini masih ada keinginan yang belum tercapai, mengimplementasikan riset tentang marka-marka pembeda sel kanker dan sel sehat. Setelah itu, saya akan pulang," kata suami Rita Syamsuddin ini
Tjio bisa menghitung kromosom itu dengan tepat setelah ia menyempurnakan teknik pemisahan kromosom manusia pada preparat gelas yang dikembangkan Dr. T.C. Hsu di Texas University, Amerika Serikat.
Walau ahli genetika ternama itu telah wafat pada 2001, Indonesia masih terpandang di bidang keilmuan itu lewat pria kelahiran Sleman, Yogyakarta, bernama Muhammad Arief Budiman. Dia adalah Kepala Library Technologies Group Orion Genomic di Saint Louis, Missouri, Amerika Serikat.
Meski terpandang dan menempati posisi penting di perusahaannya, Arief tak pernah berhenti berkiprah. Dia merupakan anggota aktif American Society for Plant Biologists. Asosiasi peneliti ini bukan perkumpulan ilmuwan biasa. Agar seseorang bisa menjadi anggotanya, ia harus aktif meneliti penyakit kanker pada manusia. Ia juga harus membawa surat rekomendasi dari profesor yang lebih dulu aktif dalam riset itu, serta tahu persis riset dan kontribusi orang itu di bidang kanker. "Meski latar belakang saya peneliti genome tanaman, saya banyak melakukan riset genetika mengenai kanker manusia," kata Arief.
Pria kelahiran 28 September 1970 itu awalnya bercita-cita menjadi pilot. Karena berkacamata, saat SMP ingin jadi dokter. Selama di Orion Genetics, dia sudah membuat delapan teknologi untuk menangani sel kanker manusia.
Temuan pertamanya yang sudah dipatenkan adalah alat untuk menemukan biomarka atau penanda molekuler pada penyakit kanker. "Untuk menciptakan cip pengendus kanker itu, kami mengembangkan metodenya sejak lima tahun lalu," kata doktor dari Texas A&M University ini.
Begitu juga dengan tujuh temuan lainnya yang masih berhubungan dengan teknologi pemindai kanker. Masing-masing pemindai gen itu untuk kanker payudara, kanker ovarian, kanker hati, kanker kolon, kanker paru-paru, kanker melanoma, kanker kandung kemih, kanker ginjal, dan kanker endometrium.
Sebelumnya, Arief mengembangkan teknologi untuk mengaplikasikan gugus metil pada pembacaan gen tanaman. "Jadi tidak perlu lagi membaca semua sekuen genome dalam tanaman yang butuh waktu lama dan biaya besar dengan BAC-nya," katanya.
BAC atau bacterial artificial chromosome ini menjadi bahan disertasinya di Texas A&M University dan merupakan tonggak awalnya berkiprah dalam bidang genetika di Amerika.
Sukses di Negara Adidaya tak membuatnya lupa Tanah Air. Arief mengatakan suatu saat akan kembali ke Indonesia. "Saat ini masih ada keinginan yang belum tercapai, mengimplementasikan riset tentang marka-marka pembeda sel kanker dan sel sehat. Setelah itu, saya akan pulang," kata suami Rita Syamsuddin ini
2. Prof. Mohammad Kassim Moosa (Indonesian Marine Biologist)
Prof. M. Kassim Moosa (Tengah) saat mendapat penghargaan dari LIPI
Kassim juga menyumbangkan penemuan ilmiah tentang taksa baru, berupa 3 family, 11 genera, dan 45 spesies dari kepiting dan stomatopoda. Penemuan paling monumental berupa spesies ikan purba dari Sulawesi Utara yaitu Latimerida menadoensis dan informasi keberadaan ikan purba di Biak, Papua. Capaian peraih gelar doktor dari Pierre and Marie Curie University ini dinilai sangat relevan dengan kondisi Indonesia yang dikelilingi lautan.
3. Dr. H Aulia Sani, SpJP(K), FJCC, FIHA (AHLI JANTUNG INDONESIA)
Pesan sang ayah dan dukungan istri membuat Dr. H Aulia Sani, SpJP(K), FJCC, FIHA menjadi dokter yang tidak materialistis, lebih penting menolong orang daripada uang. Ia juga murah hati dalam berbagi ilmu, sangat mencintai Indonesia dan mendedikasikan hidupnya mendidik masyarakat agar terhindar dari penyakit jantung
Meski para dokter harus membayar mahal (biaya studi, waktu, tenaga dan pikiran) agar bisa mengabdi sesuai tuntutan masyarakat, masih ada dokter-dokter di negeri ini yang tetap terpanggil untuk memberikan dirinya menolong orang-orang yang membutuhkan. Salah satunya, dr Aulia Sani, mantan Direktur Utama Pusat Jantung Harapan Kita (PJNHK) yang kini lebih banyak menghabiskan waktunya mengajar di Universitas Indonesia dan bekerja di unit rehabilitasi rumah sakit PJNHK. Meski pernah menjadi orang nomor satu di rumah sakit rujukan nasional ini, hidupnya tetap bersahaja. Sebab baginya, profesi dokter adalah pengabdian.
Segudang prestasi juga diraihnya diantaranya menjadi orang Indonesia pertama dan terakhir - bersama rekannya Prof Hamid Umar - meraih penghargaan bergengsi, Fellow Japanese College of Cardiology tahun 2001.Penghargaan ini buah dari dedikasinya di bidang pengobatan penyakit jantung dan pengalamannya beberapa kali menimba ilmu di negeri matahari terbit itu. Meski rekan-rekannya sesama dokter banyak yang menolak studi di Jepang karena tidak bisa praktek untuk mendapatkan penghasilan, dr Sani tetap memanfaatkan kesempatan. Sebab bagi dia, rejeki ada di tangan Tuhan. Saat itu, demi pendidikan yang lebih tinggi, ia rela pulang balik ke Indonesia empat bulan sekali meninggalkan anak dan istrinya. Pendidikan selama satu tahun itu ia lakoni dengan bijaksana.
Ia juga mengikuti berbagai pelatihan di bidang sub-spesialisasi Cardiac Rehabilitation, Hoehenried, Jerman dan Heart Reseach Center, Melbourne, Australia. Pelatihan di bidang Economic and Management of Health Care di National University of Singapore. Kemudian berkesempatan mendapatkan pelatihan Study on Educational System and Hospital Management Japanese Council for Medical Training, Jepang. Pelatihan di bidang Public Health diperolehnya dari The Bill and Melinda Gates Institute Bloomberg School of Public Health, AS, hasil kerjasama antara Departement Kesehatan Republik Indonesia dan John Hopkins University AS di Jakarta.
Berkat kiprahnya sebagai dokter yang baik, ia mendapat sejumlah penghargaan di antaranya penghargaan dari Gubernur Sumatra Barat atas Jasa, Pengabdian dan Sumbangsih dalam rangka pengembangan Pusat Jantung Regional Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang tahun 2004 ; Satya Lancana Karya Satya XX dari Presiden RI tahun 2004 ; Tanda Penghargaan Tri Windu (Sakti Karya Husada Tri Windu) dari Menteri Kesehatan RI tahun 2004 ; penghargaan dari LSM Dur Randha Peduli Anak Bangsa dalam Pelaksanaan Operasi Jantung pasien tak mampu bernama Mara Alivia, dari Aceh tahun 2000 ; dan Pembina Teladan Klub Jantung Sehat Pondok Kelapa tahun 1994.
4. Prof. Dr. Mulyanto (ahli Hepatitis Indonesia)
Mantan Rektor Universitas Mataram (NTB) yang juga aktif meneliti hepatitis
Di sebuah laboratorium sederhana, Profesor Mulyanto telah banyak menghabiskan waktunya sebagai peneliti. Pada tahun 1974, Mulyanto lulus sebagai dokter dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tapi, Mulyanto lebih memilih Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai tempat mengabdikan ilmu. Sebagai dokter, Mulyanto sangat sedih karena tingginya angka penderita hepatitis. Apalagi untuk memeriksa darah penderita diperlukan biaya yang sangat mahal.
Berkat ketekunannya, Mulyanto berhasil memutuskan rantai proses di laboratorium uji klinis yang terkenal rumit, lama, dan mahal menjadi singkat, mudah, dan murah. Hasilnya ialah reagen atau alat sederhana yang bisa mengindikasikan penyakit khususnya hepatitis dan Human Immunodeficiency Virus atau HIV.
Tak hanya berhenti di meja lab, Mulyanto juga melakukan penelitian dari Sumatra Utara hingga jauh ke pedalaman Papua untuk merekam jejak pola penyebaran virus hepatitis. Berkat ketekunannya ini Mulyanto diganjar beberapa penghargaan, seperti Habibie Award dan Ahmad Bakrie Award di bidang kedokteran.
Semangat dan ketekunan Mulyanto juga telah tertular kepada para mahasiswanya. Keteladanan Mulyanto sebagai dokter juga banyak memberikan inspirasi bagi mahasiswanya, para calon dokter. Mulyanto kerap membebaskan pasiennya yang tidak mampu dari biaya konsultasi, bahkan memberikan bantuan biaya menebus obat.
Walau sebagian besar waktu untuk keluarga dihabiskan dengan melakukan penelitian dan pengabdian pada masyarakat, keluarga tetaplah mendukung Mulyanto. Terutama, sang istri, Enny Yulianti.
Kendati penemuannya telah bisa menolong banyak orang, ternyata Mulyanto masih menyimpan perasaan waswas. Di tengah terus naiknya angka penderita hepatitis di Indonesia, jumlah dokter yang mau menjadi peneliti bidang imunologi justru makin sedikit.